Oleh: Pdt John Winsyah Raja Saragih | Disunting oleh Pdt Rawalfen Saragih
Di sudut ruang yang sempit, sebuah meja kayu tua menjadi tempat dua pendeta duduk berdiskusi. Di luar, angin sore berhembus pelan, namun di dalam, udara terasa berat dengan pergumulan yang mendalam. Satu di antaranya, seorang pendeta muda, memandang dengan cemas ke arah rekannya yang lebih tua, seorang pendeta yang telah lama dikenal dengan jubah mulberry sutra yang selalu menempel di tubuhnya.
“Apakah kita benar-benar akan membiarkan semua ini terjadi?” tanya pendeta muda, suaranya terbata. “Apa yang kau lakukan itu sudah tak bisa dibenarkan. Kau… kau menggunakan jubah ini untuk menutupi semua kebusukan yang ada dalam hati. Kau mengklaim diri sebagai hamba Tuhan, tetapi tindakanmu justru menjauhkan kita dari kemurnian iman.”
Pendeta yang lebih tua, yang senyumnya selalu misterius dan licik, menatapnya dengan tatapan penuh rasa percaya diri. “Kau tak mengerti,” jawabnya pelan, sambil mengangkat tangannya seolah memohon untuk didengar. “Aku hanya mengikuti arus yang ada. Jangan lupa, gereja ini membutuhkan lebih banyak perhatian dari sekadar doa. Aku hanya berusaha memperkenalkan sesuatu yang baru, yang bisa membawa keuntungan bagi kita semua.”
Pendeta muda itu menggelengkan kepala, matanya penuh rasa kecewa. “Keuntungan? Keuntungan seperti apa yang kau cari? Apa artinya seluruh harta dunia jika kita kehilangan makna sejati dari pelayanan?” Dia menatap jubah hitam yang dikenakan oleh rekannya. “Kau membalut dirimu dengan kata-kata indah, memikat banyak orang, tetapi hatimu tetaplah busuk. Doa yang kau jual itu bukanlah doa, itu hanyalah mantra demi kepentingan pribadi.”
Pendeta yang lebih tua hanya tersenyum tipis, seolah mendengar sesuatu yang sudah biasa. “Bukan itu yang penting, Nak. Apa yang lebih penting adalah bagaimana aku bisa memanfaatkan kesempatan ini. Mungkin kita tidak selalu dapat mengubah dunia, tetapi kita bisa mengubah cara kita memandang dunia. Jika dunia ini memperlakukan kita seperti ini, kenapa kita tidak memperlakukan dunia dengan cara yang sama?”
Pendeta muda itu menatapnya dengan tajam. “Kau tahu apa yang aku pikirkan? Doa seharusnya bukan alat untuk mendatangkan keberuntungan atau kekayaan, dan gereja tidak seharusnya dijadikan ladang untuk politik. Kau telah mencampuradukkan antara pelayanan dengan ambisi pribadi. Semua kata-kata yang kau ucapkan dari mimbar, yang kau sebut sebagai wahyu dari surga, sebenarnya hanyalah retorika politik. Kau menjual ilahi untuk meraih tujuan pribadi, dan itu bukanlah jalan yang benar.”
Pendeta yang lebih tua itu menghela napas panjang. “Kau terlalu naif, Nak. Di dunia ini, tak ada yang bisa terlepas dari politik. Bahkan gereja, meskipun seharusnya menjadi tempat kedamaian, sering kali terjebak dalam kekuasaan dan pengaruh. Aku hanya mencoba memanfaatkan kesempatan, agar kita bisa bertahan. Aku memanfaatkan doa dan pengaruhku untuk menjamin masa depan gereja ini.”
Namun, pendeta muda itu tidak bisa lagi menahan amarah dan keputusasaannya. “Bertahan? Dengan cara ini? Kau tidak bertahan, kau malah merusak. Kau telah menggantikan kebenaran dengan manipulasi, iman dengan kepalsuan. Kau mengklaim diri sebagai pembawa berkat, tetapi apa yang kau bawa adalah dosa yang tertutup dalam pakaian kemewahan. Kebenaranmu tidak lebih dari kebohongan yang terbungkus rapat dalam ucapan-ucapan manis.”
Pendeta yang lebih tua terdiam, matanya mulai menatap jauh ke luar jendela, seolah berpikir mendalam. “Aku tahu apa yang kau maksud,” katanya pelan. “Tapi dunia ini tidak lagi seperti yang kau bayangkan. Jika kita tidak mengikuti arus ini, kita akan tenggelam. Semua yang ku lakukan, meski terlihat salah di matamu, adalah demi gereja ini. Aku tidak ingin melihat gereja ini runtuh.”
Pendeta muda itu berdiri dan berjalan menjauh. “Jika gereja ini benar-benar berdiri di atas kebenaran, maka ia tidak akan pernah runtuh, meski tidak ada kekuasaan politik yang mengaturnya. Gereja adalah rumah Tuhan, bukan panggung untuk politisi berdasi yang berlindung di balik kata-kata indah. Jika gereja ini dibangun dengan cinta, dengan pengabdian yang tulus kepada Tuhan, ia akan selalu kuat, tak tergerus zaman.”
Pendeta yang lebih tua hanya menundukkan kepala, merasa hampa. Dia menyadari ada yang salah, meski enggan mengakui sepenuhnya. “Aku hanya… Aku hanya ingin kita selamat, Nak. Apa yang harus kulakukan? Aku sudah terlalu jauh.”
Pendeta muda itu berhenti, lalu menatapnya dengan lembut. “Kita semua bisa berubah, tetapi kita harus mulai dengan hati yang tulus. Jangan biarkan politik menguasai mimbar, jangan biarkan ambisi pribadi mengaburkan pandangan kita tentang Tuhan. Kita harus kembali kepada dasar iman kita, kembali kepada pelayanan yang sejati.”
Di akhir percakapan itu, pendeta muda meninggalkan ruangan dengan hati yang berat. Namun, ia tahu bahwa kebenaran, meskipun terlambat, akan selalu menang. Gereja yang dibangun di atas kebohongan tidak akan pernah bertahan. Sebaliknya, gereja yang teguh di atas dasar firman Tuhan, meskipun tampak rapuh, akan tetap kokoh, karena Tuhanlah yang menjaganya.
Firman Tuhan mengingatkan kita dalam 1 Timotius 6:10, “Karena akar segala kejahatan adalah cinta uang; sebagian orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan banyak duka.” Seperti yang terungkap dalam percakapan ini, mereka yang mengutamakan kepentingan pribadi, apalagi dengan menggunakan agama sebagai alat untuk mencapai tujuan duniawi, akan selalu merusak integritas pelayanan. Gereja harus tetap berpegang pada kebenaran dan iman yang sejati, bukan terjerat dalam permainan politik atau ambisi pribadi. Tuhan tidak akan pernah meninggalkan umat-Nya yang setia kepada-Nya.