Di tengah hiruk-pikuk kereta api di New York, ada seorang pria Batak bernama Adong. Di depannya duduk seseorang yang wajahnya agak mirip orang Asia, dan si Adong pun langsung tertarik. Dengan sopan, dia bertanya, “Maaf, kamu orang Asia ya? Soalnya wajah kita mirip.” Orang itu menjawab, “Iya, saya dari Indonesia.” “Oh, dari mana di Indonesia?” tanya si Adong lagi. “Dari Sumatera Utara,” jawabnya. “Wah, masih bisa bahasa Indonesia?” tanya si Adong penuh semangat. “Bisa banget,” jawab orang itu.
Lalu si Adong mulai ngobrol dalam Bahasa Indonesia, “Kamu dari mana di Sumatera Utara?” “Dari Siantar,” jawabnya. “Oh, saya juga dari Siantar! Kamu orang Batak?” “Iya, Pak.” “Marga apa?” “Purba, Pak.” “Mamak boru apa?” “Boru Saragih.”
“Ah, Babi kau bangsat! Aku tulangmu (pamanmu)!” seru si Adong sambil memukul lembut kepalanya. “Namamu siapa?” “Timbul, Tulang.” “Kamu tinggal di mana? Ayo datang ke rumah Tulang ya, rumah kita di jalan…
Keesokan harinya, si Timbul tiba di rumah pamannya, Adong, yang terletak di salah satu sudut New York yang sibuk. Sejak pagi, Adong telah mempersiapkan segala sesuatunya untuk menyambut kedatangan keponakannya yang baru tiba dari Indonesia. Adong tahu betapa pentingnya bagi Timbul untuk merasa diterima dan nyaman di lingkungan baru ini. Begitu si Timbul memasuki rumah, suasana hangat langsung terasa. Adong menyambutnya dengan senyuman lebar dan pelukan hangat yang penuh kasih.
Saat mereka duduk dan memulai percakapan, Adong tak henti-hentinya bertanya tentang perjalanan Timbul. “Jadi, bagaimana perjalananmu dari Indonesia ke sini? Apakah semua berjalan lancar?” tanya Adong penuh perhatian. Timbul pun menceritakan dengan antusias bagaimana ia melewati berbagai tantangan selama perjalanan panjang itu. Mereka membahas detail kecil, mulai dari pengalaman selama di bandara, pesawat, hingga kesan pertama Timbul saat tiba di New York. Adong mendengarkan dengan seksama, menunjukkan ketertarikan dan empati yang mendalam.
Percakapan mereka kemudian berlanjut ke alasan mengapa Timbul memutuskan untuk datang ke New York. Timbul menjelaskan bahwa dia mencari peluang baru untuk kariernya dan merasa bahwa kota ini menawarkan banyak kesempatan. Adong mengangguk penuh pengertian dan mulai memberikan berbagai saran tentang bagaimana bisa memanfaatkan peluang-peluang tersebut. Mereka membicarakan berbagai kemungkinan pekerjaan yang bisa Timbul coba, dan Adong bahkan menawarkan beberapa kontak yang mungkin berguna untuk keponakannya.
Adong juga sangat perhatian terhadap kebutuhan dasar Timbul. Ia tahu betapa pentingnya bagi seseorang yang baru datang ke kota besar seperti New York untuk memiliki tempat tinggal yang nyaman dan terjangkau. “Kamu harus tahu bahwa mencari tempat tinggal di sini bisa menjadi tantangan. Tapi jangan khawatir, aku punya beberapa rekomendasi untuk tempat-tempat yang mungkin cocok untukmu,” ujar Adong sambil menunjukkan beberapa alamat dan nomor telepon. Timbul merasa sangat terbantu dan berterima kasih atas semua informasi yang diberikan.
Selama mereka berbincang, Adong juga memperkenalkan Timbul pada kebiasaan dan tradisi yang ada di New York, serta beberapa tempat yang harus dikunjungi untuk merasakan kehidupan kota yang dinamis ini. Mereka juga mengatur rencana untuk beberapa hari ke depan, termasuk kemungkinan makan malam bersama untuk merasakan kuliner lokal dan berkeliling kota. Adong dengan sabar menjelaskan tentang sistem transportasi, daerah-daerah yang aman untuk tinggal, dan bagaimana cara beradaptasi dengan budaya baru.
Begitulah kira-kira ciri khas orang Batak. Ada satu filosofi mendalam yang mengikat semua orang Batak, yaitu Adat, yang memegang peranan penting dalam kehidupan mereka. Filosofi ini tidak hanya membentuk bagaimana mereka berinteraksi dengan orang lain, tetapi juga bagaimana mereka memandang hubungan antar sesama. Dalam konteks Adat Batak, tidak ada satu orang Batak pun di dunia ini yang hidup terisolasi sendirian. Keterikatan dan solidaritas merupakan nilai-nilai inti dalam budaya mereka.
Adat Batak mengajarkan bahwa setiap orang Batak terikat satu sama lain dalam jaringan hubungan yang kuat. Dalam budaya ini, ada rasa tanggung jawab dan kepedulian yang mendalam terhadap sesama, terutama dalam keluarga besar. Aku pernah melihat sebuah patung yang sangat menggugah di Neundettelsauch, Jerman. Patung tersebut berada di rumah seorang misionaris Jerman yang bekerja di Papua New Guinea. Patung itu menggambarkan seorang bapak yang lengket menyatu dengan istrinya, anak-anaknya, serta seluruh anggota keluarganya—dari pamannya, ibunya, saudara laki-laki dan perempuan dari istrinya, hingga nenek dan saudara-saudara neneknya.
Dalam patung itu, semua anggota keluarga tampak lengket satu sama lain, seolah membentuk satu kesatuan yang tak terpisahkan. Patung ini benar-benar menggambarkan bagaimana orang Batak saling terhubung. Mereka tidak hanya dekat secara fisik, tetapi juga secara emosional. Jika satu orang merasakan kesakitan, seluruh keluarga merasakannya. Jika satu orang bahagia, seluruh jaringan keluarga ikut merasakan kebahagiaan itu. Ini adalah cerminan dari betapa kuatnya ikatan yang ada dalam komunitas Batak.
Tidak hanya berlaku pada kelompok kecil atau keluarga inti, tetapi hampir seluruh orang Batak di dunia ini memiliki rasa solidaritas dan keterhubungan yang sama. Dan juga setiap orang Batak secara instingtif mengetahui posisi dan perannya di antara orang-orang Batak lainnya. Ini bukan hanya tentang hubungan darah, tetapi juga tentang rasa saling peduli dan membantu. Adat yang diwariskan oleh leluhur mereka mengikat mereka menjadi satu komunitas yang kuat dan solid.
Sebagai bagian dari Adat, ada rasa tanggung jawab untuk menjaga dan mendukung satu sama lain. Ketika seseorang dari komunitas Batak menghadapi kesulitan atau tantangan, anggota keluarga dan komunitas lainnya akan segera bergerak untuk membantu. Sebaliknya, saat seseorang mengalami kebahagiaan, seluruh komunitas turut merayakannya. Inilah yang membuat budaya Batak sangat unik dan kuat—sebuah jaringan sosial yang erat yang tidak hanya mendukung individu, tetapi juga memperkuat rasa persatuan di antara mereka.
Rasa keterikatan ini sangat mendalam dan luas, mencakup seluruh aspek kehidupan. Tidak jarang kita melihat orang Batak yang datang dari berbagai belahan dunia berkumpul dan saling berbagi dalam perayaan adat, acara keluarga, atau bahkan dalam situasi-situasi darurat. Ini adalah contoh nyata dari betapa kuatnya ikatan yang dimiliki oleh orang Batak.
Dalam konteks globalisasi dan mobilitas yang semakin meningkat, terkadang ada orang Batak yang merasa terasing ketika berada jauh dari tanah kelahiran mereka. Namun, prinsip Adat dan rasa solidaritas ini tetap ada, membantu mereka merasa terhubung dengan komunitas mereka, meski berada ribuan mil jauhnya dari rumah. Ini adalah kekuatan dari budaya Batak yang menjadikan setiap orang Batak merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar, bahkan ketika mereka berada di tempat yang sangat jauh dari rumah.
Jadi, begitulah cara orang Batak menjaga keterikatan mereka satu sama lain. Setiap individu tahu bahwa mereka adalah bagian dari jaringan besar yang saling mendukung dan memperhatikan. Ini adalah bentuk solidaritas yang mendalam dan kuat yang terus terjaga dari generasi ke generasi. Itulah mengapa, meskipun mereka mungkin berada jauh dari rumah atau menghadapi tantangan pribadi, mereka tetap merasa tidak sendirian dan terhubung dengan komunitas mereka di seluruh dunia.
Dengan cara ini, adat dan budaya Batak tidak hanya membentuk identitas mereka, tetapi juga memastikan bahwa tidak ada satu orang Batak pun di dunia ini yang merasa kesepian atau terasing. Adat yang diwariskan oleh leluhur mereka membentuk ikatan yang kuat dan solid, menjaga agar setiap orang Batak merasa terhubung dan saling mendukung, tidak peduli di mana mereka berada. Inilah kekuatan dari komunitas Batak yang sesungguhnya—sebuah jalinan yang tak terputus, penuh kasih, dan saling peduli.
Kisah Adong dan Timbul tadi menggambarkan betapa kuatnya ikatan sosial yang terjalin dalam budaya Batak, di mana setiap individu merasa terhubung dalam jaringan solidaritas yang mendalam. Dalam konteks teologis, ini mencerminkan prinsip kasih yang diajarkan dalam Alkitab, seperti tertulis dalam 1 Yohanes 4:20, “Jika seseorang berkata: ‘Aku mengasihi Allah,’ tetapi ia membenci saudaranya, ia adalah pendusta; sebab barangsiapa tidak mengasihi saudaranya, yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya.” Keterikatan antaranggota komunitas Batak mencerminkan kasih Allah yang tidak terbatas, di mana setiap orang diharapkan untuk saling mendukung dan merayakan kebahagiaan satu sama lain, meskipun mereka berada jauh dari tanah kelahiran mereka. Melalui rasa solidaritas ini, mereka tidak hanya menjaga tradisi dan identitas, tetapi juga menciptakan lingkungan yang penuh kasih dan perhatian, mirip dengan kasih yang diajarkan dalam ajaran Kristiani.