Waktu itu saya masih menjadi pendeta di Resort Medan Barat, sambil mengemban tugas sebagai Sekretaris Nasional YMCA Indonesia. Hari itu, hari yang saya nanti-nantikan, hari yang penuh harapan besar, karena pada pukul tiga sore nanti, saya akan memimpin rapat nasional di Banjarmasin. Lebih dari sekadar memimpin, saya membayangkan sebuah pencapaian penting dalam hidup saya—kemungkinan besar, saya akan terpilih sebagai Ketua Dewan Nasional.
Saya sudah mengatur segalanya dengan sempurna. Tiket pesawat pukul tujuh pagi dari Medan sudah saya amankan. Transit di Jakarta memang tak terhindarkan, tapi saya sudah menghitung waktunya. Jika semua berjalan sesuai rencana, saya akan tiba di Banjarmasin tepat waktu, mempersiapkan diri sejenak, lalu dengan penuh keyakinan memimpin rapat yang bisa mengubah perjalanan hidup saya.
Tetapi kenyataan sering kali tidak memberi ruang bagi rencana manusia. Saat saya tiba di Bandara Polonia, pengumuman datang seperti petir di siang bolong. Penerbangan ke Jakarta tertunda hingga pukul dua belas siang. Bayangkan! Lima jam keterlambatan! Itu berarti rencana saya runtuh. Tidak akan ada waktu cukup untuk mengejar penerbangan ke Banjarmasin. Tidak akan ada rapat yang saya pimpin. Tidak akan ada peluang menjadi Ketua Dewan Nasional.
Panik langsung menyergap saya. Saya tidak bisa membiarkan ini terjadi! Dengan langkah tergesa dan dada yang bergemuruh, saya berlari dari satu kantor maskapai ke kantor lainnya. Saya mencari penerbangan alternatif, mencoba menawar, bahkan berharap ada keajaiban yang bisa membawa saya ke Banjarmasin tepat waktu. Tetapi semua pintu seakan tertutup rapat.
Keringat dingin mulai mengalir, napas saya memburu. Rasanya seperti tenggelam dalam kepanikan yang tak tertanggungkan. Bagaimana ini bisa terjadi? Saya sudah mengatur semuanya dengan baik! Saya hampir kehilangan keseimbangan, merasa ingin jatuh. Dalam hati saya hanya bisa berkata, Tuhan, mengapa Kau biarkan semua ini terjadi?
Namun di tengah badai yang berkecamuk di hati saya, pandangan saya tertuju pada sekelompok pria di sudut bandara. Mereka tampak berdiri bersama, bercakap-cakap dengan tenang. Tapi yang mengejutkan saya adalah bagaimana mereka tertawa. Tertawa terbahak-bahak, seolah tidak ada sesuatu pun yang mengganggu ketenangan mereka.
Mereka satu pesawat dengan saya, artinya mereka juga mengalami keterlambatan yang sama. Tapi mengapa mereka bisa setenang itu?
Perlahan saya mendekat. Saya bertanya pada seseorang di sebelah saya tentang siapa mereka. Jawabannya mengejutkan saya: mereka adalah seorang menteri beserta rombongannya yang baru kembali dari tugas di Jakarta.
Sebagai seorang yang masih muda dalam kepemimpinan, pikiran saya langsung dipenuhi rasa kagum bercampur heran. Menteri? Dengan segala kesibukan dan urusan negara yang berat? Mereka pasti memiliki tanggung jawab yang jauh lebih besar dari saya! Tetapi mengapa mereka bisa menghadapi situasi ini dengan santai? Mengapa mereka malah tertawa, bukannya panik seperti saya?
Sejenak saya merasa seperti seorang anak kecil yang baru saja diajar sebuah pelajaran besar tentang hidup.
Saat itu, saya melihat jelas perbedaan antara ketergesaan dan ketenangan. Saya telah menghabiskan energi untuk memaksakan keadaan yang berada di luar kendali saya. Sementara mereka, para pemimpin besar yang telah berpengalaman melewati gelombang kehidupan, memilih untuk bersikap tenang.
Mungkin di situlah letak perbedaannya. Panik tidak menyelesaikan apa pun. Bahkan justru merusak tubuh dan pikiran. Tetapi ketika kita tetap tenang, kita memberi ruang bagi diri sendiri untuk berpikir lebih jernih. Dan lebih dari itu, kita juga membiarkan tubuh kita tetap sehat, tetap segar.
Bukankah ada orang yang mati bukan karena sakit, tetapi karena terlalu banyak memikirkan hal-hal yang tidak bisa mereka ubah? Bukankah banyak orang berambisi besar, tetapi akhirnya justru jatuh dalam stres yang menggerogoti kesehatannya?
Saya menarik napas panjang. Hari itu, saya memutuskan untuk belajar satu hal: bahwa kesehatan mental jauh lebih penting daripada ambisi yang berlebihan.
Tentu, memiliki cita-cita itu baik. Bekerja keras itu wajib. Tetapi, apakah itu semua harus dibayar dengan kecemasan yang merusak ketenangan batin? Jika bahkan seorang menteri bisa tertawa menghadapi keterlambatan pesawat, bukankah saya juga bisa?
Saya mulai tersenyum. Tidak, rapat itu mungkin tidak akan saya pimpin hari ini. Mungkin saya juga tidak akan terpilih sebagai Ketua Dewan Nasional kali ini. Tapi hidup masih panjang. Tuhan tidak hanya menyediakan satu kesempatan bagi saya.
Di sudut bandara yang sesak dan riuh itu, saya seperti menemukan kunci kecil yang berharga—sebuah pemahaman tentang bagaimana menghadapi kehidupan dengan cara yang lebih baik.
Kita bisa memilih untuk selalu panik dan terburu-buru. Atau kita bisa belajar menerima apa yang terjadi dengan kepala dingin dan hati yang penuh syukur.
Dan siapa tahu, mungkin dengan begitu, kita bukan hanya menghindari stres yang tidak perlu – tetapi juga memperpanjang umur kita.