Dalam kekristenan, kasih bukanlah sekadar sebuah ajaran, melainkan inti dari setiap panggilan hidup yang kita terima. Kristus datang ke dunia bukan hanya untuk menyelamatkan umat manusia, tetapi juga untuk memberi teladan dalam hal kasih dan pengorbanan. Di sepanjang perjalanan-Nya di dunia, Kristus selalu mendekati mereka yang terpinggirkan, orang-orang miskin, dan mereka yang dianggap rendah oleh masyarakat. Kasih-Nya bukanlah kasih yang nyaman atau hanya untuk mereka yang mudah dicintai. Sebaliknya, kasih Kristus adalah kasih yang berkorban, kasih yang bergerak menuju mereka yang paling membutuhkan. Dalam setiap langkah-Nya, Kristus mengajarkan kita bahwa kasih sejati bukanlah kasih yang menghindari kesulitan, tetapi kasih yang memilih untuk berada di tengah penderitaan mereka yang terpinggirkan.
Paus Fransiskus, seorang pemimpin rohani dunia, dengan lantang menyuarakan pentingnya perhatian terhadap mereka yang hidup di pinggiran—mereka yang miskin, pengemis, dan gelandangan. Panggilan ini bukanlah hal baru dalam ajaran Kristen, tetapi sering kali terlupakan oleh banyak orang, bahkan oleh mereka yang memimpin umat. Kita, sebagai umat Kristiani, seringkali terjebak dalam keinginan untuk hidup dalam kenyamanan dan rasa aman, sehingga lupa bahwa misi Kristus tidak pernah terlepas dari penderitaan dan perjuangan. Kristus tidak datang untuk memberi kenyamanan, tetapi untuk menunjukkan bahwa kasih sejati melampaui batasan duniawi, bahkan menjangkau mereka yang paling tersingkirkan sekalipun.
Sebagai pemimpin umat Kristiani, kita dipanggil untuk lebih dari sekadar memimpin doa dan ibadah. Kita dipanggil untuk mencontohkan kasih Kristus dalam tindakan nyata, dengan mendekati mereka yang hidup di pinggiran masyarakat. Dunia ini seringkali meminggirkan mereka yang kurang beruntung, dan di sinilah peran kita sebagai penerus misi Kristus menjadi sangat penting. Tugas kita bukan hanya untuk berbicara tentang kasih, tetapi untuk memanifestasikan kasih itu melalui tindakan yang konkret. Dalam dunia yang sering kali melupakan mereka yang terpinggirkan, kita dipanggil untuk menjadi perpanjangan tangan kasih Tuhan, untuk tidak menutup mata terhadap kesengsaraan yang ada di sekitar kita.
Kristus sendiri pernah berkata, “Apa yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk-Ku” (Matius 25:40). Ini adalah panggilan untuk keluar dari zona nyaman kita dan masuk ke dalam dunia penderitaan orang lain. Mereka yang tidak memiliki tempat tinggal, yang menderita kelaparan, yang hidup dalam kemiskinan tanpa harapan—mereka adalah saudara dan saudari kita, cerminan Kristus yang menunggu untuk dijamah oleh kasih dan perhatian kita. Kata-kata Kristus ini bukan hanya menjadi pengingat, tetapi juga menjadi undangan untuk melihat dunia dengan cara yang berbeda, dengan mata kasih yang mampu melihat di luar kenyamanan pribadi kita.
Paus Fransiskus menekankan bahwa gereja harus menjadi “rumah bagi yang miskin.” Rumah ini tidak hanya dalam arti fisik, tetapi juga dalam arti spiritual dan sosial. Gereja harus menjadi tempat di mana mereka yang terpinggirkan merasa diterima, dihargai, dan dipedulikan. Pemimpin gereja harus menjadi suara bagi mereka yang tidak bisa berbicara, membela hak-hak mereka yang tertindas, dan memberikan harapan bagi mereka yang terputus dari sistem sosial yang adil. Namun, sering kali kita terlalu sibuk dengan urusan internal gereja, dengan rutinitas ibadah dan kegiatan sosial, sehingga melupakan panggilan utama untuk melayani mereka yang membutuhkan.
Berbuat baik kepada mereka yang miskin tidak hanya sebatas memberi sumbangan, tetapi lebih dari itu. Panggilan kita adalah untuk menjadi pendamping sejati, untuk melangkah keluar, menjangkau mereka yang membutuhkan, dan ikut merasakan penderitaan mereka. Kita tidak hanya dipanggil untuk memberi dari kelimpahan, tetapi untuk berbagi dengan tulus—memberikan waktu, cinta, dan perhatian kita. Gerakan kemanusiaan dalam kekristenan bukanlah sekadar sebuah aktivitas sosial, tetapi perwujudan iman kita. Kita bergerak bukan karena mereka yang miskin adalah “objek” belas kasihan kita, melainkan karena mereka adalah “subjek” dari kasih yang sama yang telah kita terima.
Solidaritas sejati mengajak kita untuk berdiri bersama mereka yang menderita, bukan hanya di luar perjuangan mereka, tetapi dalam perjuangan itu sendiri. Mengikuti teladan Kristus, kita dipanggil untuk memberikan lebih dari sekadar materi. Kasih yang tulus, empati, dan kehadiran nyata di tengah penderitaan mereka adalah bentuk kasih yang sejati. Tantangan terbesar bagi kita, terutama para pemimpin umat Kristiani, adalah untuk tidak hanya berbicara tentang kasih, tetapi untuk menjadi kasih itu sendiri, untuk hadir di tengah-tengah mereka yang terpinggirkan, dan untuk merasakan penderitaan mereka. Kasih tidak bisa dipisahkan dari tindakan, dan tindakan itu harus dilakukan dengan keberanian untuk keluar dari kenyamanan pribadi.
Sebagai pemimpin umat, kita memiliki tanggung jawab yang lebih besar untuk menerangi jalan kasih ini. Bagaimana kita bisa mengharapkan jemaat untuk peduli terhadap mereka yang menderita jika kita sendiri tidak memberi teladan dalam hal ini? Setiap tindakan kecil yang kita lakukan untuk menolong mereka yang terpinggirkan adalah perpanjangan dari misi Kristus. Kasih yang tulus tidak menuntut pengakuan atau penghargaan dari dunia. Kasih yang sejati membutuhkan keberanian untuk hadir di tengah penderitaan, tanpa mengharapkan imbalan. Inilah panggilan kita sebagai pemimpin umat, untuk melampaui diri kita sendiri, untuk bergabung dalam perjuangan mereka yang membutuhkan, dan dengan demikian menjadi cerminan hidup dari kasih Tuhan di dunia ini.
Pada akhirnya, kita harus menyadari bahwa gerakan kemanusiaan yang memihak orang-orang miskin dan terpinggirkan bukanlah sebuah pilihan, melainkan kewajiban yang melekat pada setiap pemimpin umat Kristiani. Kita adalah tangan dan kaki Kristus di dunia ini, dan setiap tindakan kecil yang kita lakukan untuk membantu mereka yang menderita adalah tindakan kasih yang menyentuh hati Tuhan. Dunia membutuhkan lebih banyak pemimpin yang berani keluar dari zona nyaman mereka, yang berani melibatkan diri dalam penderitaan orang lain, dan yang bersedia menjadi jembatan antara kasih Tuhan dan mereka yang terpinggirkan.
Sebagai pengikut Kristus, kita dipanggil untuk tidak hanya menyuarakan kasih, tetapi untuk menghidupi kasih itu dalam setiap tindakan kita. Kasih yang sejati tidak menuntut imbalan, tetapi berkorban demi kesejahteraan sesama. Sebagaimana tertulis dalam 1 Yohanes 3:18, “Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran.”