Di bawah langit yang kelabu, di sebuah kampung kecil yang terletak di Tanah Simalungun, dunia kami seolah terhenti. Hari itu, duka datang begitu mendalam, merengkuh setiap hati dalam keluarga kami, merobek keheningan yang selama ini kami nikmati. Ayah, pilar kokoh yang selama ini menjadi tempat kami bergantung, telah dipanggil pulang ke dunia roh. Kematian datang begitu tiba-tiba, tanpa memberi waktu bagi kami untuk mempersiapkan diri, untuk merelakan dan mengucap selamat tinggal dengan hati yang lapang.
“Kenapa ayah bisa pergi begitu cepat?” tanya adikku, suaranya serak, hampir tak terdengar di tengah kesunyian yang mencekam. Wajah-wajah yang biasanya penuh canda tawa kini tertutup kabut duka. Mata-mata yang dulunya cerah, kini kehilangan sinarnya, seperti redupnya cahaya matahari di sore hari. Kami duduk di sekitar peti kayu sederhana tempat jasad ayah terbaring, kaku dan dingin. Hati kami hancur, merasakan kepedihan yang tak kunjung usai. Tak ada lagi kata-kata yang bisa diucapkan, hanya air mata yang tak terbendung mengalir tanpa henti.
Bagi kami, orang Simalungun, kematian bukanlah akhir dari segalanya. Kami percaya bahwa itu adalah sebuah perjalanan menuju dunia roh yang tak terjangkau oleh tangan-tangan fana. Meskipun kami memahami hal ini, rasa kehilangan tetap menghancurkan kami. Ayah akan berjalan sendirian di dunia sana, tanpa tawa, tanpa pelukan, tanpa kehangatan yang selama ini kami berikan.
“Kapan kita bisa bertemu lagi, Pa?” bisikku dalam hati. Perasaan hampa dan tak berdaya merayapi setiap sudut jiwa kami. Kami tak bisa menemani langkah-langkahnya di dunia roh. Kami hanya bisa berharap bahwa ia merasakan cinta kami meskipun kami tak lagi bisa berada di dekatnya. Di luar rumah, kain hitam berkibar pelan, sebagai tanda bahwa seorang dari kami telah pergi. Ibu menangis sekeras hati, suaranya serak dan patah-patah, memanggil nama ayah dalam keputusasaan yang mendalam. Saudara-saudara berkumpul, saling menggenggam tangan, mencari kekuatan dalam kebersamaan, namun tetap saja, tak ada yang bisa mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh ayah.
Di malam yang begitu sunyi, aku berdiri di dekat jendela, menatap langit yang gelap dan tak berbintang. Dingin angin malam menyentuh kulit, namun jauh lebih dingin perasaan yang menggerogoti hatiku. Di balik kabut duka yang menyelimuti jiwa, aku berbisik dalam doa. “Tuhan, berikan kedamaian bagi roh ayah, dan semoga ia tahu bahwa cinta kami akan selalu bersamanya, meski kami tak bisa lagi memberi pelukan atau canda tawa,” doaku dalam hati.
Namun, dalam kedukaan yang mendalam, kami menemukan pengharapan yang kokoh. Kami meyakini bahwa kematian bukanlah akhir dari segalanya. Sebagai orang percaya, kami tahu bahwa Tuhan memegang kendali atas hidup dan mati. Mereka yang meninggalkan kami di dunia ini akan menemukan kedamaian di dalam hadirat-Nya. Firman Tuhan mengingatkan kami dalam Yohanes 14:1-2, “Janganlah gelisah hatimu. Percayalah kepada Allah, percayalah juga kepada-Ku. Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal; jika tidak demikian, tentu Aku mengatakannya kepadamu. Aku pergi untuk menyediakan tempat bagimu.” Dalam pengharapan ini, kami percaya bahwa suatu hari nanti, di tempat yang telah disediakan Tuhan, kami akan bertemu kembali dengan orang-orang yang kami kasihi, dalam keadaan yang mulia dan abadi bersama-Nya.