Desember 2019 menjadi bulan yang tak terlupakan bagiku. Pagi itu, saat bersiap berangkat kerja, kusapa tetangga dengan ucapan selamat pagi. Namun, yang keluar dari mulutku bukan kata-kata indah, melainkan rangkaian suara tak jelas seperti “kekakikipakiki”. Rasa aneh menyelimuti diri. Kenapa mulutku mengucapkan hal yang tak dimengerti? Sesampainya di kantor, kuceritakan kejadian itu kepada temanku. Tanpa ragu, dia segera mengajakku ke rumah sakit dengan mengatakan, “Ini gejala stroke!”.
Di rumah sakit, diagnosisnya benar. Aku mengalami stroke ringan. Dunia serasa runtuh. Terpaksa, aku harus dirawat inap selama seminggu. Masa-masa itu begitu berat. Kemampuan bicaraku terganggu, dan tubuhku tak lagi seimbang. Namun, seiring waktu, kondisiku berangsur membaik. Seminggu kemudian, aku diizinkan pulang ke rumah. Pengalaman ini menjadi tamparan keras bagiku. Aku sadar bahwa kesehatan adalah harta yang tak ternilai.
Meskipun aku sudah diizinkan pulang ke rumah dan kondisi tubuhku masih belum pulih sepenuhnya, aku ingin mencoba pengobatan tradisional Tiongkok di Tanjung Pinang. Aku ditemani seorang pendamping dan kami pun mengontrak sebuah kamar di sana. Mendengar kabar keadaanku, abangku pun datang dari Medan untuk menjenguk. Kami bertiga, aku, pendamping, dan abangku, tinggal di rumah kontrakan itu.
Tiba di penghujung tahun, tepatnya tanggal 31 Desember 2019, kenangan masa kecilku tentang perayaan tahun baru bersama keluarga kembali terlintas. Sejak kecil, aku terbiasa dengan tradisi kebaktian singkat di malam tahun baru. Bagi kami, momen ini selalu spesial karena setelahnya kami akan disuguhi berbagai hidangan lezat dan minuman istimewa seperti teh susu, bir, dan minuman ringan lainnya. Tradisi minum susu ini hanya terjadi sekali dalam setahun, yaitu di malam tahun baru. Sebelum kebaktian dimulai, kami anak-anak sudah dimandikan, disisir rapi, dan mengenakan baju baru. Kami duduk di atas tikar dengan penuh semangat, menanti hidangan lezat dan segelas susu yang dinanti-nantikan.
Tepat 10 menit menjelang pergantian tahun, Ayah memimpin kebaktian. Kebaktian singkat ini diawali dengan nyanyian rohani, doa, dan kemudian giliran kami anak-anak untuk menyampaikan kesan dan janji di tahun baru, meminta maaf kepada saudara dan orang tua, dan diakhiri dengan doa bersama.
Tetapi tahun baru di Tanjung Pinang ini terasa berbeda. Jauh dari keluarga dan masih dalam kondisi pemulihan, namun kebersamaan dengan abang dan pendampingku menjadi penghibur di tengah keterbatasan. Kenangan masa kecil tentang kebaktian tahun baru bersama keluarga pun semakin membekas di hati. Meskipun jauh dari keluarga dan masih dalam proses pemulihan, aku ingin tetap melestarikan tradisi kebaktian tahun baru di Tanjung Pinang. Tradisi ini sudah deeply rooted dalam keluargaku, dan aku ingin menciptakan momen spesial ini meskipun hanya bersama abang dan pendampingku, Edi.
Perasaan sedih dan haru menyelimuti kami bertiga di malam tahun baru itu. Kami jauh dari hiruk pikuk perayaan di kota asal, namun kami ingin tetap menghormati tradisi dan menciptakan kenangan baru di tempat yang baru ini. Dengan penuh semangat, aku menata kamar kontrakan kami di Tanjung Pinang. Aku meminta Edi untuk membantuku menyiapkan empat kursi, dan ketika abangku bertanya untuk siapa kursi keempat, aku menjawab dengan mantap, “Satu kursi untuk Tuhan Yesus.”
Malam itu, kami bertiga memulai kebaktian dengan penuh rasa haru. Aku membuka acara dengan nyanyian rohani, dan setelah itu, dengan suara bergetar dan diiringi air mata, aku berkata, “Bang, Edi, di malam tahun baru ini, aku bersyukur atas kesempatan untuk tetap menjalankan tradisi kebaktian bersama. Di sini, kita bukan hanya bertiga, tapi ada empat, karena Tuhan Yesus hadir bersama kita. Inilah kursi untuk-Nya.” Kebaktian malam itu terasa begitu istimewa. Kami memanjatkan doa syukur atas kehadiran Tuhan Yesus, atas kesehatan abangku yang masih dalam pemulihan, dan atas pekerjaan Edi. Kami juga berdoa memohon kekuatan dan bimbingan Tuhan dalam menghadapi tahun baru yang penuh dengan ketidakpastian.
Kami menutup kebaktian dengan penuh pengharapan dan optimisme. Kami yakin bahwa tahun baru 2020 akan membawa berkat dan kebahagiaan bagi kami bertiga, keluarga kami di Jakarta dan Medan, dan semua orang yang kami cintai.
Empat bulan setelah kebaktian di Tanjung Pinang, aku kembali ke kampung halaman di Medan untuk menjenguk abangku yang masih dalam proses pemulihan. Di tengah kumpulan keluarga, abangku mengungkapkan kekagumannya terhadap imanku. “Aku masih ingat betul saat di Tanjung Pinang,” kenangnya. “Ketika kita mengadakan kebaktian singkat bertiga, kamu berkata bahwa ada empat orang di sana, termasuk Tuhan Yesus. Perkataanmu itu begitu berkesan dan luar biasa bagiku.”
Mendengar kenangan abangku, aku terharu. Pengalaman di Tanjung Pinang memang membekas dalam diriku. Di tengah situasi yang sulit, jauh dari keluarga dan dalam kondisi pemulihan, aku menemukan kekuatan dan penghiburan melalui tradisi dan imanku. Kisah stroke ringan dan kebaktian di Tanjung Pinang ini menjadi pengingat bahwa kesehatan adalah harta yang tak ternilai. Kita harus selalu bersyukur atas setiap momen dalam hidup, dan jangan pernah ragu untuk menaruh iman dan harapan kepada Tuhan, bahkan di saat-saat tergelap sekalipun.
Tradisi dan iman bagaikan pelita yang menerangi jalan di kala gelap. Kita harus terus melestarikan nilai-nilai luhur ini dan menanamkannya kepada generasi penerus. Dengan begitu, kita dapat menjalani hidup dengan penuh makna dan kebahagiaan, bahkan di tengah berbagai rintangan dan cobaan.
Pengalaman di Tanjung Pinang akan selalu kuingat sebagai bukti nyata kekuatan iman dan tradisi dalam mengantarkan aku melewati masa-masa sulit. Aku bersyukur atas kesempatan untuk berbagi kisah ini dan berharap dapat menginspirasi orang lain untuk selalu teguh dalam iman dan menjalani hidup dengan penuh rasa syukur.
Pengalaman menghadapi stroke ringan dan melestarikan tradisi kebaktian tahun baru di Tanjung Pinang mengajarkan bahwa iman dan kebersamaan adalah sumber kekuatan yang tidak ternilai dalam masa-masa sulit. Meskipun terpisah dari keluarga, kehadiran Tuhan Yesus memberikan harapan dan ketenangan. Dalam setiap tantangan, kita diingatkan untuk bersyukur atas kehidupan dan mempercayakan segala sesuatu kepada-Nya, seperti tertulis dalam Filipi 4:6-7: “Janganlah hendaknya kamu khawatir tentang apapun juga, tetapi dalam segala hal, oleh doa dan permohonan dengan ucapan syukur, sampaikanlah permintaanmu kepada Tuhan. Dan damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus.” Pengalaman ini menjadi bukti bahwa iman mampu menerangi jalan di tengah gelapnya ujian hidup, mengingatkan kita untuk selalu bersyukur dan mengandalkan Tuhan dalam setiap langkah.