Cerita ini mengisahkan pengalaman mendalam saya pada tahun 70-an, saat saya menempuh pendidikan di perguruan tinggi teologi di Pematang Siantar, Sumatera Utara, Indonesia. Kelahiran dan masa kecil saya berlangsung di sebuah desa kecil di Kabupaten Simalungun, di mana keluarga kami menjalani kehidupan sederhana. Sebagai anak bungsu dalam tradisi Batak Simalungun, saya sering kali diberi perhatian dan kasih sayang lebih dari keluarga saya.
Ini adalah kisah tentang rutinitas bulanan saya saat kuliah di sebuah kota besar. Setiap bulan, saya kembali ke desa untuk mengambil uang kuliah dan kebutuhan sehari-hari dari orangtua saya. Saat pulang ke desa, meskipun usianya hampir mencapai 70 tahun, ibu saya tetap bersemangat untuk menyenangkan anak bungsunya — saya. Misalnya, seperti biasa dia tak kenal lelah selalu pergi ke sawah yang berlumpur untuk mencari ikan-ikan kecil sebagai lauk bagi saya yang terkasih. Bagi saya, sebagai anak bungsu, momen-momen seperti itu telah menjadi hal yang sangat lazim dalam hidup saya.
Kebiasaan yang telah terjadi berkali-kali, ketika saatnya bagi saya untuk kembali ke kota, ketika saya membelakangi rumah dengan persiapan berangkat, ibu saya, tanpa pernah gagal, selalu berlari diam-diam mengejar saya dan selalu menyelipkan uang tambahan ke dalam kantong celana saya. Tindakan ini menjadi salah satu dari banyak momen yang menggambarkan seberapa besar kasih sayangnya kepada saya, walaupun dalam keterbatasannya.
Setibanya di kota, saya selalu terkenang dengan kenangan-kenangan istimewa itu, terutama tentang semua usaha ibu saya untuk membuat saya, si anak bungsu, bahagia di desa. Pikiran saya selalu kembali pada momen ketika ibu pulang dari sawah dengan ikan-ikan kecil yang dia tangkap, mengenakan pakaian kotor yang berlumpur compang-camping. Saya sering melihatnya menjemur pakaian itu di dekat rumah, dan ingatan itu selalu menghadirkan rasa sedih mendalam dalam hati saya.
Namun, kehidupan tidak selalu memberikan keindahan yang abadi. Suatu hari, berita yang mengguncang datang: ibu saya meninggal dunia. Kehilangan itu begitu berat bagiku. Rasanya dunia menjadi hampa, tidak ada lagi yang bisa menggantikan kasih sayang dan perhatian dari ibuku tercinta.
Beberapa bulan kemudian, saya kembali ke desa. Saat melangkah masuk ke dalam rumah, saya langsung menuju tempat tidur ibu saya. Rasa rindu memenuhi hati saya, sehingga saya segera berbaring di tempat tidurnya. Tiba-tiba, pandangan saya tertuju pada sebuah pakaian compang-camping dan kotor persis di depan saya. Seolah saya melihat ibu saya yang selalu memakai itu ketika dia pergi ke sawah mengambil ikan untuk lauk saya anaknya. Langsung kuraih, sambil menangis keras tersedu-sedu, pakaian itu kupeluk erat-erat, kuciumi semua aromanya kumasukkan semua kedalam batinku, ini adalah aroma ibuku, ibuku yang kurindukan. Kesedihan yang mendalam membuat saya tidak sadar bahwa tetangga-tetangga rupanya telah berkumpul, mendengar tangisan histeris saya.
Setelah saya berhasil mengontrol diri, saya keluar ke ruang tengah,……. dan kaget mendapati banyak tetangga telah berkumpul, mendengar tangisan menyedihkan saya. Mereka bertanya dengan penuh perhatian mengapa saya begitu sedih, dan saya menjawab dengan suara gemetar, “Saya melihat pakaian ibu saya, yang selalu dia pakai saat pergi ke sawah untuk mencari ikan. Saya memeluknya karena rasanya seperti memeluk ibu saya lagi. Itulah mengapa saya menangis begitu keras.”
Mendengar itu, tiba-tiba kakak ipar perempuan saya (my sister in law) tersenyum pahit dan berkata, “Itu bukan pakaian ibumu. Itu adalah pakaian kotor saya.” Suasana langsung berubah drastis. Gelak tawa riuh memenuhi ruangan, menggema di telinga saya. Saya merasa jijik, hampir mual, dan ingin muntah-muntah seketika.
Maaf kawan-kawan, cerita ini adalah sebuah perjalanan emosional saya yang sangat mendalam, menggambarkan betapa besar dan tulusnya kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya, serta bagaimana kenangan dan rasa rindu dapat mempengaruhi hati dan pikiran seseorang. Momen-momen sederhana, namun penuh makna, yang dibagikan oleh seorang ibu, menjadi landasan yang kokoh dalam kehidupan anak bungsunya, terutama ketika dia harus meninggalkan rumah untuk melanjutkan studinya di kota besar.
Di tengah rutinitas bulanan yang dilakukan oleh si anak bungsu, kebiasaan ibu untuk mencari ikan-ikan kecil dan menyelipkan uang tambahan ke dalam kantong celana menunjukkan betapa dalamnya kasih sayang seorang ibu, meskipun dalam keterbatasan ekonomi. Setiap momen yang dihabiskan bersama ibu di desa, setiap usaha ibu untuk membuat anaknya merasa bahagia, menyisakan kesan yang mendalam dalam ingatan si anak bungsu. Kenangan tentang ibu yang pulang dari sawah dengan pakaian kotor dan berlumpur adalah simbol dari cinta yang tak tergantikan dan pengorbanan yang tak ternilai.
Namun, kehidupan tidak selalu ramah. Ketika ibu meninggal dunia, rasa kehilangan yang mendalam menyelimuti si anak bungsu. Kehilangan ini bukan hanya tentang perpisahan fisik dengan sosok yang telah memberikan begitu banyak kasih sayang dan perhatian, tetapi juga tentang kehilangan sebuah bagian dari dirinya sendiri yang terhubung erat dengan cinta dan kenangan masa kecil. Ketika si anak bungsu kembali ke desa setelah kepergian ibunya, dia mencari kenyamanan dalam barang-barang yang pernah menjadi bagian dari kehidupan ibu. Pakaian kotor yang dikenakan ibu saat mencari ikan menjadi simbol dari hubungan yang begitu dekat dan mendalam.
Ketika si anak bungsu melihat pakaian kotor itu, dia merasa seolah-olah sedang memeluk ibunya sekali lagi. Tangisan yang menggema, diiringi dengan kekuatan emosi yang luar biasa, menunjukkan betapa dalamnya rasa kehilangan dan rindu yang dia alami. Ini adalah momen yang sangat pribadi dan emosional, di mana kenangan masa lalu yang indah dan menyakitkan bercampur dalam satu perasaan. Namun, kenyataan kadang-kadang memiliki cara yang tak terduga untuk menyajikan kejutan, dan kali ini adalah saat di mana kenyataan itu membuat si anak bungsu merasa hancur.
Ketika kakak ipar perempuan mengungkapkan bahwa pakaian itu sebenarnya adalah miliknya, bukan pakaian ibu, reaksi emosional si anak bungsu berubah drastis. Gelak tawa dan perubahan suasana yang tiba-tiba mengingatkan kita bahwa terkadang, dalam upaya untuk mencari makna dan kenyamanan dalam kenangan kita, kita dapat terjebak dalam ilusi atau kesalahpahaman. Perasaan jijik dan mual yang dirasakan oleh si anak bungsu menunjukkan betapa dalam dan kuatnya harapan serta rasa rindu yang menghubungkannya dengan ibunya. Momen ini bukan hanya tentang pakaian kotor yang ternyata bukan milik ibunya, tetapi juga tentang proses penyembuhan dari rasa kehilangan yang mendalam.
Kisah ini mengajarkan saya tentang kekuatan kasih sayang dan bagaimana kenangan ibu membentuk identitas saya. Seperti yang tertulis dalam Amsal 4:23, “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan.” Saya belajar untuk menyimpan semua kenangan indah itu dalam hati, meskipun harus belajar untuk melanjutkan hidup dengan semangat dan kekuatan yang diwariskan oleh kasih sayang ibu saya. Momen-momen kecil ini selalu menjadi pendorong bagi saya, membantu saya mengingat betapa berharganya cinta yang telah ia berikan dan bagaimana saya dapat membagikan cinta itu kepada orang lain.