Dulu, ketika saya masih terbenam dalam rutinitas akademis sebagai mahasiswa teologi, pikiran saya penuh dengan gambaran ideal tentang masa depan. Setiap hari, saya membayangkan diri saya berdiri di mimbar gereja, menyampaikan khotbah dengan penuh keyakinan kepada jemaat di kota yang saya impikan—Pematang Siantar atau Sidikalang ataupun Kota Medan ataupun kota-kota besar lainnya. Kota-kota ini, dengan sejarah dan budaya yang kaya, tampak seperti tempat yang tepat untuk memulai perjalanan spiritual saya. Saya menganggapnya sebagai langkah alami dalam evolusi hidup saya, tempat di mana keyakinan saya dapat berkembang dan memberikan dampak yang berarti pada komunitas yang saya layani. Saya membayangkan bagaimana saya akan membangun hubungan dengan penduduk setempat, berkolaborasi dalam proyek-proyek gereja, dan menjalani kehidupan yang sejalan dengan panggilan saya sebagai pendeta.
Namun, rencana ilusi ini seolah dihapus oleh takdir yang memiliki jalan ceritanya sendiri. Alih-alih ditempatkan di kota-kota yang saya impikan, saya tiba-tiba menemukan diri saya berada di sebuah desa yang sama sekali tidak pernah terbersit dalam angan-angan saya—Desa Bunga Sampang-Resort Hinalang. Terletak jauh dari keramaian kota, desa ini tampak seperti tempat yang sangat kontras dengan lingkungan yang saya bayangkan sebelumnya. Dengan infrastruktur yang terbatas dan populasi yang sangat kecil, Bunga Sampang tampak seperti dunia yang terisolasi, penuh dengan tantangan dan peluang yang tidak terduga. Meskipun awalnya saya merasa bingung dan sedikit kecewa, saya segera menyadari bahwa tempat ini memiliki pesonanya sendiri yang unik.
Desa Bunga Sampang, dengan keheningan dan kedamaian alamnya, memaksa saya untuk melihat keindahan dalam kesederhanaan. Di sini, saya tidak hanya menjalankan tugas saya sebagai pendeta, tetapi juga terlibat dalam pekerjaan besar yang berdampak langsung pada masyarakat desa. Proyek-proyek kecil yang saya lakukan, mulai dari memperbaiki infrastruktur desa hingga melatih keterampilan masyarakat, mulai menunjukkan hasil yang menggembirakan. Saya menyaksikan perubahan nyata dalam kehidupan sehari-hari penduduk desa—mereka mulai memiliki harapan baru dan merasakan kemajuan yang berarti.
Namun, apa yang tampaknya sebagai sebuah awal yang sederhana dan tidak terduga ini ternyata adalah langkah pertama dalam perjalanan global saya. Dari desa kecil ini, saya diundang untuk terlibat dalam berbagai kegiatan internasional. Saya menemukan diri saya bepergian ke Meksiko, Kairo di Mesir, New York, Amsterdam, Frankfurt, dan kota-kota besar dunia lainnya, tempat yang sama sekali berbeda dari Bunga Sampang, untuk berkolaborasi dalam proyek-proyek sosial dan kemanusiaan. Perjalanan ini tidak hanya memperluas wawasan saya tetapi juga memberikan saya kesempatan untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan yang saya peroleh di desa. Setiap perjalanan membawa pelajaran baru, membuka mata saya terhadap keragaman budaya dan cara hidup yang berbeda di seluruh dunia.
Dalam perjalanan tersebut, saya juga mengunjungi berbagai kota besar—dari Tokyo yang futuristik hingga Roma yang penuh sejarah. Setiap tempat memberikan perspektif yang unik tentang kehidupan dan keyakinan saya. Saya belajar untuk menghargai perbedaan dan memahami bahwa setiap komunitas memiliki cara tersendiri untuk menjalani kehidupan dan menjalankan keyakinan mereka. Pengalaman ini memperkaya perjalanan spiritual saya dan membentuk pandangan saya tentang dunia.
Tidak hanya itu, pengalaman internasional ini juga mengubah cara saya melihat panggilan saya. Saya mulai menyadari bahwa pelayanan saya tidak terbatas pada satu tempat atau komunitas tertentu, tetapi dapat menjangkau banyak orang di berbagai belahan dunia. Saya mulai memahami bahwa setiap langkah dalam perjalanan saya, bahkan yang tampaknya tidak relevan atau tidak diinginkan, memiliki tujuan dan makna tersendiri. Meskipun saya tidak pernah membayangkan untuk bepergian sejauh ini atau berkontribusi dalam skala global, saya menemukan bahwa setiap pengalaman memberikan pelajaran berharga dan memperkaya pemahaman saya tentang pelayanan.
Sekembalinya dari perjalanan internasional saya, saya tiba di sebuah titik baru dalam hidup saya—menetap di kota Bekasi. Ini adalah tempat yang sama sekali berbeda dari desa Bunga Sampang maupun kota-kota besar yang saya kunjungi. Bekasi, dengan keanekaragaman penduduknya dan dinamika kota besar, memberikan tantangan dan peluang baru. Saya mulai terlibat dalam komunitas gereja di sini, dan meskipun awalnya saya merasa canggung dan tidak familiar dengan lingkungan baru ini, saya mulai merasakan keterhubungan dan kehangatan dari jemaat.
Saya menyadari bahwa perjalanan saya dari Desa Bunga Sampang hingga ke kota Bekasi adalah perjalanan yang penuh dengan kejutan dan perubahan yang tidak terduga. Setiap fase dalam hidup saya—dari pelayanan di desa kecil hingga perjalanan internasional dan akhirnya menetap di kota Bekasi – telah membentuk saya menjadi pribadi yang lebih matang dan lebih peka terhadap panggilan saya. Saya belajar bahwa terkadang rencana kita tidak selalu berjalan sesuai dengan yang kita bayangkan, tetapi hal tersebut bukanlah akhir dari segalanya. Sebaliknya, hal tersebut adalah kesempatan untuk membuka diri terhadap pengalaman baru dan menemukan makna dalam perjalanan yang tidak terduga.
Refleksi dari perjalanan ini membawa saya pada kesadaran yang lebih dalam tentang arti sejati dari pelayanan dan panggilan. Saya menyadari bahwa pelayanan bukan hanya tentang lokasi geografis atau peran yang kita mainkan, tetapi tentang dampak yang kita berikan dan bagaimana kita menjalin hubungan dengan orang-orang di sekitar kita. Setiap tempat yang saya kunjungi, setiap komunitas yang saya layani, memberikan kontribusi pada pembentukan identitas dan pemahaman saya tentang kehidupan dan keyakinan.
Perjalanan hidup saya mengajarkan saya bahwa rencana Tuhan seringkali jauh lebih indah dan penuh makna daripada apa yang dapat saya bayangkan. Meskipun saya memulai dengan gambaran ideal tentang masa depan saya yang terfokus pada kota-kota besar, Tuhan membawa saya ke tempat yang jauh lebih sederhana, yaitu Desa Bunga Sampang. Di sana, saya belajar bahwa pelayanan bukan hanya soal tempat atau skala, tetapi tentang hubungan yang kita bangun dan dampak yang kita berikan kepada orang lain. Seiring waktu, saya menyadari bahwa setiap langkah, bahkan yang tampak jauh dari harapan saya, adalah bagian dari rencana Tuhan yang lebih besar. Dalam perenungan ini, saya teringat akan ayat dalam Amsal 3:5-6, “Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu dan jangan bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu.” Tuhan selalu mengarahkan langkah kita, meskipun jalan yang Ia pilih seringkali berbeda dari yang kita rencanakan, dan melalui setiap pengalaman, kita diberkati dengan pemahaman yang lebih dalam tentang kasih dan panggilan-Nya.