Dalam bayangan suatu rapat di ruang Sinode Bolon GKPS, deretan kursi memanjang diatur rapi. Alur percakapan hanya sekadar formalitas, sekilas seperti aliran sungai kecil di musim kemarau. Beberapa suara terdengar bak gema samar, meredam ke dalam ruangan berplafon tinggi. Pimpinan memandang ke arah mimbar, peserta menyimak dengan kepala tertunduk, barangkali lebih menyerah pada kebekuan rutinitas daripada pada makna di hadapan mereka. Tidak ada keharusan mempersoalkan ide besar, apalagi pergeseran arah gereja. “Lebih baik begini saja.” Kata-kata itu adalah pintu, atau lebih tepatnya dinding—menjadikan pemikiran kritis terkurung jauh dalam sudut hati, padahal Tuhan memanggil Gereja untuk bergerak, bukan diam.
Di luar sana, daun-daun pisang di tepi sawah bergerak lirih ditiup angin. Di warung kopi kecil di kantin sebelah, seorang pemuda gkps bertanya, “Kenapa, Amang, kita begini terus? Tidak maju2, tidak bergerak?” Sintua kita menggeleng pelan, “Begitulah, Nak. Kalau kita berisik, malah dianggap bikin gaduh. Di kita, sikap diam itu dianggap lebih beradab.” Pernyataan sederhana itu bagai benang merah. Diikat dalam nilai-nilai yang agaknya sudah lama diturunkan oleh leluhur kita Simalungun, bahwa sikap diam itu mulia, dan yang kritis itu dianggap merusak tatanan.
Namun, layakkah diam itu dinobatkan setinggi itu? Bukankah gereja dalam panggilanNya pernah bergemuruh, menyuarakan kasih yang tajam terhadap ketidakadilan, menegur “sikap diam” yang salah itu? Sesungguhnya, gereja yang terlalu tunduk kepada status quo justru sedang merayakan kemundurannya. Di situlah letak ujung dari “penampilan dungu” itu, bukan karena kurangnya akal, melainkan kesadaran yang tertidur.
Angka-angka yang Diam dan Aset yang Terlantar. Seseorang pernah duduk sendiri di tepi perbukitan Seribu Dolok. Dari kejauhan, bangunan Rumah Sakit Bethesda terlihat kosong, retak dindingnya mulai tampak di balik sisa cat memudar. Seorang perawat tua berkisah kepada pendeta yang kebetulan melintas, “Rumah ini dulu penuh kasih. Penuh jiwa yang melayani tanpa pamrih. Tapi bagaimana sekarang, Amang? Semua senyap… Ujung akhirnya begini.” Sang pendeta diam seribu bahasa. Beberapa tahun lalu, beliau mengajukan wacana kebangkitan rumah sakit, namun percakapan berakhir di sana saja—dalam “forum terhormat” tanpa tindak lanjut.
Demikian pula Pelpem GKPS yang dulunya sinarnya sangat terang namun kini telah tutup. Sederet rencana ada dalam proposal yang apik, kertas bergelimpang, penuh tandatangan—namun pemimpinnya memilih duduk tenang. Tidak ada percakapan yang bertanya “Mengapa?”. Tidak ada tanya “Bagaimana agar bangkit kembali?”. Hanya “sikap diam” yang setia, diam yang “tampak beradab” itu yg terus menerus menguasai hati gereja.
Satu waktu, seorang Vikar/calon pendeta berkata pada dosennya sambil memegang amplop honor: “Bapak, apakah GKPS bisa berjalan jauh hanya begini? Kami ingin bertahan hidup juga, bukan berpura-pura puas.” Dosennya menarik napas berat, lalu berkata lirih, “Itulah medan pelayanan kita disini. Bertahanlah. Berharaplah kepada Tuhan, karena pertolongan lain terlalu sunyi.” Apakah ini pengorbanan yang harus dibiarkan? Tidak. Diam yang “tidak memberdayakan” sebetulnya merampas karya mulia Allah sendiri.
Menyuarakan Api yang Padam. Keheningan ini bukan tanda mulia; keheningan ini ibarat kebun yang terbakar secara perlahan. Tidak ada sebatang pohon pun yang menjerit, padahal akar-akar tercerabut perlahan dalam asap hitam pekat. Inilah wajah sebagian pemimpin kita: wajah yang tahu namun diam; tangan yang bisa menggenggam, namun dipegang erat-erat di saku sendiri.
“Tapi itu salah, kan, Bang?” ujar seorang perempuan muda yang baru saja ditahbis menjadi pendeta di salah satu desa pinggiran. Di ruang sempit yang ditempati keluarga jemaat saat ibadah sederhana, beliau meluapkan pikirannya. “Mengapa kita biarkan GKPS ini berdiri layu? Bukankah Firman Tuhan mengajar kita untuk jadi terang?” Seorang Sintua kampung tersenyum sambil menyeruput kopi, “Tidak mudah, Inang pendeta! Sebab “menyalakan api” di gereja kita ini sama seperti membakar tanganmu sendiri.”
Namun apakah itu adil? Apakah Firman dapat disunyi-senyapkan demi “pantang” berbicara lantang? Bukankah gereja hidup karena hati yang bergerak, tangan yang bekerja, dan lidah yang enyuarakan kebenaran? Kristus sendiri berulang kali berkata, “Celakalah engkau jika memilih diam saat suaramu diperlukan!” Maka api kebenaran ini janganlah padam; tanggung jawab gereja hari ini bukan hanya meratapi keterpurukan, tetapi menemukan suara hati Tuhan yang lama terkubur.
Jalan Pulang ke Harapan. Tidak mudah membangunkan mentalitas kritis dalam gereja kita. Berpikir kritis dipandang “kurang sopan”, “kurang beradab”, masih menjadi raksasa di sana-sini. Tapi perlu diingat, mentalitas yang memenjarakan perubahan adalah tanda gereja yang semakin jauh dari panggilanNya: gereja yang hilang di mata dunia. Apakah Tuhan menginginkan kita tenggelam begitu saja?
Tidak, sama sekali tidak. Dunia ini besar. Tantangan pelayanan kian berat, namun kita tidak sendirian. Ada Tuhan yang memimpin. Pembangunan RS Bethesda, pelayanan PELPEM, perhatian pada kesejahteraan pendeta, pemberdayaan jemaat, hingga aset-aset gereja bukan soal bisa atau tidak. Itu soal mau atau tidak.
Suatu malam, seorang pendeta merenung di meja kayu reyotnya. Amplop kecil uang salam-salam di tangannya yang sudah dihitung cermat. “Cukup, Tuhan. Tapi Engkau panggil aku untuk ini. Aku hanya bisa setia.” Malam itu ia kembali mengangkat Alkitab yang lusuh, membuka Habakuk 3:17-18: “Sekalipun pohon ara tidak berbunga,…”
Pendeta itu sadar, sekalipun gereja masih belajar mengepakkan sayapnya, tetap ada panggilan yang sama: “Bicaralah, geraklah, bertindaklah. Jangan biarkan dinding-dinding budaya memadamkan suara kasih dan keadilan.”
Gereja yang Menghidupi. Pendeta dan pemimpin gereja harus berani mengambil peran. Meninggalkan mentalitas “diam” bukan berarti meruntuhkan tradisi—justru kita sedang membangun ruang yang lebih bermakna, yang membuka jalan terang. GKPS bukanlah gereja untuk tunduk-tunduk pasif; ini adalah gereja dengan akar Injil Kristus yang menghidupkan.
Maka kita memulai lagi: berdialog bukan berdebat, memikir bukan memutuskan diam, melayani bukan sekadar menunggu. Dengan berani dan rendah hati, kita percaya bahwa sekalipun lambat, perubahan itu pasti terjadi. Suatu hari nanti, tak ada lagi yang malu untuk berpikir besar, menyuarakan firman dengan lantang, dan menjawab panggilan mulia. GKPS kita belum terlambat. Kristus mengasihi gerejaNya sepenuhnya. Hanya tinggal sejauh mana kita bersedia bangkit, melangkah keluar dari keheningan yang melemahkan menuju terang yang memuliakan Allah.
Bersatulah. Kita bisa membangunkan api yang lama padam. Di setiap kesunyian pelayanan, ada suara Allah yang memanggil, “Akulah terang dunia, siapa pun yang berjalan bersama-Ku, ia tidak akan tinggal dalam kegelapan.” Itulah harapan kita: bangkit bersama di bawah sinar kasih Kristus.