Di sebuah ruang pertemuan gereja yang penuh dengan kehangatan namun juga berisi kegelisahan, beberapa pendeta dan pengurus gereja GKPS duduk berdiskusi tentang masa depan gereja yang kini tengah menghadapi dilema besar. Tumpukan surat lamaran dari para sarjana teologi yang ingin melayani di gereja mereka terhampar di atas meja. Setiap surat membawa harapan dan doa, namun di balik harapan itu ada kenyataan pahit yang harus dihadapi. GKPS, dengan segala keterbatasannya, sudah hampir tidak mampu lagi menampung mereka yang datang dengan semangat melayani. “Kita sudah hampir penuh,” kata seorang pendeta dengan suara lirih, “kita harus jujur bahwa kita tidak bisa lagi menerima mereka semua.”
Masalah ini bukan hanya soal gereja yang menghadapi keterbatasan, tetapi juga tentang orangtua yang dengan penuh harap menginginkan anak-anak mereka menjadi bagian dari pelayanan gereja yang mereka cintai. “Apa yang harus kita katakan kepada mereka?” tanya seorang pendeta lainnya, dengan wajah yang terlihat kelelahan oleh kebingungannya. “Mereka datang dengan tekad dan keyakinan, namun gereja kita sudah terisi penuh. Tentu saja ini menjadi masalah besar, tidak hanya bagi gereja, tetapi juga bagi orangtua mereka.”
Beberapa pendeta memberikan saran untuk mengarahkan mereka yang tidak bisa diterima untuk melamar di gereja lain, seperti HKI, GKPI, atau HKBP, yang dikatakan masih membuka peluang bagi sarjana teologi untuk diterima. “Mungkin mereka bisa mencoba gereja lain yang masih membutuhkan tenaga mereka,” usul seorang pendeta dengan nada sedikit pasrah. Namun, ada suara yang muncul dari dalam hati gereja yang melihat hal ini sebagai peluang, bukan masalah. Seorang pendeta yang lebih muda dengan penuh semangat berkata, “Sebenarnya, ini bukan masalah besar. Ini adalah berkat. Mereka adalah kekayaan yang luar biasa untuk kita. Mereka adalah sumber daya yang perlu kita syukuri, bukan dipusingkan.”
Pendeta itu melanjutkan dengan keyakinan yang menyala, “Jika kita merasa rumah kita sudah penuh, bukan penghuni yang perlu dikurangi, tetapi rumah kita yang harus diperbesar. Mengapa kita harus menganggap keterbatasan ini sebagai sebuah hambatan? Justru ini adalah waktu yang tepat untuk kita memperluas pelayanan gereja kita, untuk membangun lebih banyak rumah bagi Tuhan.”
Suasana dalam ruangan itu menjadi hening sejenak, seolah setiap orang sedang merenungkan kata-kata yang baru saja diucapkan. Memperbesar rumah, bukan mengurangi penghuni—sebuah konsep yang sederhana, namun sangat mendalam. Ketika gereja merasa sesak, itu bukan berarti gereja harus menutup pintu bagi mereka yang ingin melayani. Sebaliknya, gereja harus memikirkan cara untuk memperbesar ruang pelayanan. Bukankah Tuhan sendiri yang membuka pintu kesempatan bagi kita semua untuk melayani-Nya dengan segala cara yang mungkin?
Namun, ada satu persoalan besar yang tidak bisa diabaikan: bagaimana gereja dapat menggaji mereka yang akan diberdayakan untuk melayani? Mengingat bahwa gereja memiliki sumber daya yang terbatas, masalah pendanaan menjadi tantangan nyata. Seorang pendeta berkata dengan khawatir, “Kita ingin memberdayakan mereka, tetapi bagaimana kita bisa membayar gaji mereka? Itu adalah masalah yang nyata, dan kita tidak bisa mengabaikannya begitu saja.”
Di sinilah tantangan besar bagi GKPS untuk berpikir kreatif dan bijaksana. Gereja harus memikirkan cara-cara baru untuk mengelola sumber daya yang ada dan menggali potensi-potensi yang belum dimanfaatkan. Salah seorang anggota gereja yang lebih berpengalaman berkata, “Kita tidak bisa terus mengandalkan cara-cara lama. Kita harus berpikir lebih luas, memperluas cara kita dalam memperoleh dana. Mungkin kita bisa menggalang dana dari jemaat yang lebih mampu, atau menjalin kerjasama dengan gereja-gereja lain untuk membentuk sebuah program pendanaan bersama. Kita juga bisa mencari peluang dari lembaga-lembaga yang mendukung pengembangan pelayanan gereja.”
Saran itu membawa angin segar di tengah kebingungannya. Para pendeta mulai berbicara tentang kemungkinan-kemungkinan yang ada: memperkenalkan program-program penggalangan dana melalui acara gereja, mencari sponsor atau donatur yang peduli, bahkan membentuk yayasan yang mendukung pelayanan gereja. Semua ide itu saling mengalir, menggambarkan sebuah visi besar untuk masa depan gereja yang lebih inklusif, lebih berkembang, dan lebih terbuka.
Namun, di balik semua itu, ada satu hal yang tidak boleh dilupakan oleh gereja: bukan hanya tentang menggaji mereka, tetapi tentang memberi kesempatan bagi mereka untuk melayani dengan segenap hati. Ini bukan soal mencari solusi finansial semata, tetapi tentang memberi mereka kesempatan untuk tumbuh, berkembang, dan melayani dengan penuh kasih.
Akhirnya, di tengah diskusi panjang itu, sebuah kesimpulan muncul. GKPS perlu memperbesar “rumah” mereka—baik dalam hal fisik, spiritual, maupun finansial. Untuk itu, gereja harus memperluas wilayah pelayanannya, membuka lebih banyak kesempatan bagi para sarjana teologi yang siap melayani, dan menggali potensi-potensi dana yang ada di sekitarnya. Yang lebih penting adalah untuk terus beriman bahwa Tuhan akan menyediakan segala yang dibutuhkan gereja untuk menjalankan panggilan-Nya.
Sebagaimana tertulis dalam Filipi 4:19, “Allah akan memenuhi segala kebutuhanmu menurut kekayaan-Nya dalam Kristus Yesus.” Firman Tuhan ini mengingatkan kita bahwa meskipun kita menghadapi tantangan besar dalam hal pendanaan, kita harus percaya bahwa Allah yang kita sembah adalah sumber segala berkat. Dia yang telah memanggil para sarjana teologi ini untuk melayani, juga akan menyediakan jalan dan cara agar mereka bisa diberdayakan dalam pelayanan yang mulia.