Di sebuah desa subur di kaki gunung, seorang petani tua bernama Pak Siregar sedang menatap hamparan sawahnya. Warnanya pucat, tanahnya keras, dan hasil panennya berkurang setiap musim. Dulu, sawah ini adalah sumber kebanggaannya, kebun beras yang tak pernah mengecewakan. Kini, tanda-tanda degradasi tanah merenggut kepercayaan diri Pak Siregar. “Tanah kita sudah tua,” bisiknya lirih, seakan berbicara dengan dirinya sendiri. Seorang anak muda, Ari, keponakannya yang baru pulang dari kota, mendekati sambil membawa buku catatan kecil dan botol air. “Mungkin bukan tanahnya yang salah, Pak. Bisa jadi kita saja yang belum merawatnya seperti yang seharusnya.”
“Merawat tanah?” Pak Siregar mengernyit. “Kami sudah mencangkulnya setiap hari. Memberinya pupuk, menyiraminya. Apa kurangnya itu?” Ari tersenyum kecil. “Pak, saya belajar bahwa pupuk kimia itu bisa merampas kehidupan tanah kalau terlalu banyak. Kita butuh pupuk yang lebih baik untuk tanah: pupuk organik, pupuk hijau, atau kompos. Ini yang bisa mengembalikan nyawa ke dalamnya.” Ari membayangkan sawah ini kembali hijau, subur seperti yang diceritakan neneknya di masa lampau. “Kalau tanah diberi pupuk organik, dia akan membalas dengan kesuburan, Pak. Kita bisa mulai dengan yang sederhana dulu.”
Rehabilitasi Tanah dengan Pupuk Organik. Tiba-tiba bayangan keranjang-keranjang penuh kompos yang ditaburkan di sawah muncul di pikiran Pak Siregar. Betapa lama ia lupa aroma tanah yang hidup dengan pupuk kandang, jauh sebelum pupuk kimia merajai tokonya di pekan. “Saya pernah pakai kompos, Ari, tapi… butuh waktu lama!” suaranya tertahan, kecewa.“Tapi nanti hasilnya akan lebih lama juga bertahan, Pak,” jawab Ari bersemangat. “Pupuk organik itu memperbaiki tanah, bukan cuma jadi ‘perban’ sementara seperti pupuk kimia.” Ia membuka buku catatannya, “Lihat, Pak, pupuk hijau—kita tanam kacang-kacangan. Setelah itu kita olah menjadi pupuk langsung. Tanah akan penuh nitrogen alami. Ini seperti memberi makanan sehat buat sawah kita.” Pak Siregar diam sejenak. Matanya menatap lurus ke depan, menduga-duga betapa mungkinnya sawahnya hidup kembali. Tapi Ari belum selesai. “Lalu kita bisa coba rotasi tanaman. Jangan cuma padi-padi terus. Kalau tanah terus dibiarkan begini, dia kelelahan, seperti kerbau tua yang tak diberi istirahat.”
Rotasi Tanaman dan Pola Tanam Berkelanjutan. Malam harinya, di pondok kecil mereka, Pak Siregar menyuruh Ari menjelaskan lebih banyak soal ide-idenya. Api lampu minyak berkedip-kedip menerangi wajah penuh rasa ingin tahu. “Rotasi tanaman itu gimana maksudnya?” “Begini, Pak,” Ari menunjuk petak sawah pada gambarnya. “Kita bisa tanam kacang-kacangan atau legum beberapa bulan setelah padi. Kacang itu akan melepaskan nitrogen ke tanah, bikin tanah ‘bernapas’ lagi. Lalu setelah itu kita tanam padi lagi. Ini mencegah kelelahan tanah sekaligus mencegah penyakit. Kalau cuma padi terus, hama-hama tertentu jadi makin kuat.” Pak Siregar mengangguk-angguk. “Dulu ayahku pun bicara soal itu, tapi entah kenapa kami tak pernah lakukan. Kami merasa kalau tidak tanam padi, tidak ada hasil…”
Ari menatap pamannya dengan serius. “Kalau kita terus begini, tidak ada hasil sama sekali, Pak. Lahan kita rusak. Apa kita mau tanah ini jadi tandus?”
Teknologi dan Edukasi untuk Petani. Beberapa pekan kemudian, Ari mengajak seorang penyuluh pertanian dari kota. Lelaki muda itu datang dengan alat kecil di tangannya dan komputer tablet. Mereka bersama-sama mengukur kondisi tanah, kadar kelembapan, dan kebutuhan pupuk. “Kita bisa gunakan teknologi pertanian presisi, Pak Siregar,” kata penyuluh itu sambil tersenyum. “Dengan alat seperti ini, kita tahu apa yang dibutuhkan tanah. Tidak lebih dan tidak kurang.”
“Kok ribet kali ini ya?” sergah Pak Siregar. “Dulu sawah ini subur tanpa macam-macam begitu.”
“Itu dulu, Pak,” Ari menimpali pelan. “Sekarang kondisi tanah beda. Ada yang harus kita perbarui. Kalau kita tahu cara menggunakannya, teknologi justru mempermudah pekerjaan petani.” Ia tersenyum meyakinkan.
Tidak lama, kelompok petani kecil berkumpul di gubuk tengah sawah. Penyuluh menjelaskan pentingnya pengelolaan hama terpadu, cara menghindari ketergantungan berlebih pada pestisida kimia yang mematikan mikroorganisme di tanah. “Kita bisa pakai pengendalian hayati, tanaman pengusir hama. Itu lebih aman untuk kita dan tanah kita,” katanya tegas. Petani lain pun mengangguk, mulai menyadari ada pilihan lain yang lebih ramah lingkungan.
Kebijakan dan Dukungan Pemerintah. Pak Siregar pernah datang ke kantor balai desa, menyerahkan usulan untuk pupuk organik bersubsidi. Kali ini ia lebih berani, karena ada Ari di sisinya. “Kami butuh dukungan, Pak Kepala Desa. Kalau saja pemerintah mau bantu kami dalam penyediaan pupuk kompos atau bibit kacang untuk rotasi tanaman, mungkin sawah di kampung ini bisa selamat.” Kepala desa mengangguk. “Saya dukung itu. Tapi kita butuh kerjasama semua pihak.”
Harapan dan Masa Depan Lahan Pertanian. Hari demi hari, suara-suara optimisme mulai menyebar di desa. Sekumpulan petani muda di tepi jalan bersemangat mengumpulkan dedaunan kering untuk kompos, sementara sebagian lagi membantu mengangkut pupuk hijau ke sawah. Ari senang melihat pamannya mulai percaya pada perubahan kecil yang sedang mereka kerjakan. “Butuh waktu ya, Ri, tapi kau benar,” kata Pak Siregar dengan bibir melengkung. “Tanah kita memang harus dihargai. Dia ini ibu kita yang terus memberi, tapi selama ini kita malah menyakitinya.”
Ari menoleh ke arahnya, merasa sejuk melihat sawah-sawah yang mulai ditumbuhi tanaman berbeda. Kelak, hasil rotasi itu akan menjadi bukti kecil dari niat besar para petani. “Jangan berhenti sampai di sini, Pak,” katanya lirih.
Pak Siregar tersenyum kecil. “Ini baru awal. Tidak masalah kalau lambat, yang penting ada harapan.”
Rehabilitasi tanah bukan sekadar memperbaiki lahan, melainkan menghidupkan masa depan. Tak cukup seorang saja untuk bergerak, tetapi suara kolektif para petani yang bersepakat untuk menjaga tanah mereka. Bumi perlu kita jaga, bukan kita eksploitasi. Tanah subur harus kita bangunkan dari tidurnya yang lelah, dengan segala cara yang manusiawi dan berkelanjutan. Satu ladang, satu kebun, satu harapan pada satu waktu.