Di sebuah desa yang tenang di pegunungan Sumatera Utara, terdapat sebuah gereja Batak yang sederhana namun penuh warna. Setiap pagi, gereja ini menjadi saksi bagaimana komunitas Batak merayakan iman mereka dengan cara yang unik dan khas. Suasana kebaktian dimulai dengan melodi koor yang mempesona, menciptakan atmosfer yang hangat dan penuh kekaguman. Namun, jika Anda ingin memahami keunikan cara orang Batak ber-Tuhan, mari kita simak lebih dalam kisah mereka.
Salah satu hal yang paling mencolok dalam ibadah orang Batak adalah panggilan akrab mereka kepada Tuhan. Di banyak budaya, kita menyebut Tuhan dengan sebutan formal seperti “Tuhan” atau “Bapa,” tetapi orang Batak menggunakan sebutan “Ho.” “Ho” terdengar seperti sapaan akrab yang biasa digunakan di meja makan keluarga, menciptakan nuansa kedekatan dan kehangatan dalam hubungan mereka dengan Tuhan. Ini menunjukkan bahwa bagi orang Batak, Tuhan adalah sosok yang dekat dan akrab, bukan hanya entitas yang jauh dan tidak terjangkau. Dengan menyebut Tuhan sebagai “Ho,” mereka menjalin ikatan yang hangat dan penuh keakraban dalam doa mereka.
Lebih jauh lagi, dalam struktur budaya Batak, sebutan untuk Tuhan bukanlah “Bapa,” melainkan “Ompung (kakek).” Dalam konteks budaya Batak, “Kakek” adalah sebutan yang jauh lebih terhormat daripada “Bapak.” Sebutan ini mencerminkan kedalaman rasa hormat dan kekaguman yang mereka miliki terhadap Tuhan. Dengan memanggil-Nya “Kakek,” orang Batak menunjukkan bahwa Tuhan adalah sosok yang penuh kebijaksanaan dan kasih sayang, seperti seorang Kakek yang dihormati dan dicintai. Ini bukan hanya soal gelar, tetapi juga tentang bagaimana mereka ingin memperlakukan Tuhan dengan penuh penghormatan.
Selama kebaktian, Anda akan disambut oleh berbagai kelompok koor yang tampil dengan penuh semangat. Kebaktian gereja Batak sering kali dimeriahkan dengan pertunjukan koor yang memukau, dan ini bukan tanpa alasan. Orang Batak percaya bahwa di surga, malaikat-malaikat akan menyambut mereka dengan pertunjukan koor yang megah dan indah. Oleh karena itu, mereka memandang setiap penampilan koor di gereja sebagai persiapan untuk sambutan megah di hadapan Tuhan. Dengan harapan bahwa penampilan mereka akan mempesona Tuhan, mereka berlatih dan tampil dengan semangat yang tak tertandingi, seolah-olah mereka sedang mempersiapkan diri untuk sebuah konser agung di surga.
Tidak hanya itu, dalam setiap kebaktian, Anda mungkin juga mendengar pengakuan iman rasuli. Namun, bagi orang Batak, bahasa sorgawi mereka adalah bahasa Batak. Meskipun kebaktian mungkin berlangsung dalam bahasa Indonesia, mereka sering kali berusaha mengucapkan pengakuan iman dalam bahasa Batak. Ini bukan hanya tentang kenyamanan berbahasa, tetapi juga tentang kedekatan spiritual mereka dengan bahasa yang mereka anggap sangat berharga. Dengan cara ini, mereka merasa bisa menghubungkan lebih dalam antara langit dan bumi melalui bahasa yang mereka cintai.
Di akhir kebaktian, setelah berbagai penampilan koor dan doa-doa yang penuh rasa hormat, Anda akan merasakan betapa dalamnya kecintaan orang Batak terhadap Tuhan dan budaya mereka. Dengan sebutan akrab “Ho,” panggilan hormat “Ompung,” pertunjukan koor yang memukau, dan keyakinan bahwa bahasa sorgawi adalah bahasa Batak, mereka menunjukkan sebuah cara ber-Tuhan yang kaya makna dan warna. Orang Batak merayakan iman mereka dengan cara yang penuh sukacita, kebanggaan, dan seringkali dengan sedikit sentuhan humor. Mereka membuktikan bahwa iman dan budaya bisa bersatu dalam harmoni yang indah, meninggalkan kesan mendalam tentang cara unik mereka dalam ber-Tuhan.
Kesimpulan dari kisah orang Batak dalam beribadah menunjukkan betapa dekatnya hubungan mereka dengan Tuhan, yang tercermin melalui panggilan akrab “Ho” dan sebutan hormat “Ompung.” Dalam konteks teologis, hubungan ini mengingatkan kita pada ayat dalam Mazmur 145:18 yang menyatakan, “TUHAN dekat kepada semua orang yang berseru kepada-Nya, kepada semua orang yang berseru kepada-Nya dalam kebenaran.” Dengan menyapa Tuhan dalam nuansa keakraban dan penghormatan, orang Batak tidak hanya merayakan iman mereka, tetapi juga menciptakan ikatan yang mendalam antara diri mereka dan Sang Pencipta. Melalui pertunjukan koor dan pengakuan iman dalam bahasa Batak, mereka memperlihatkan bahwa iman dan budaya dapat bersatu dalam harmoni, menciptakan pengalaman spiritual yang kaya dan penuh makna.