Di dalam kehidupan berjemaat, kita sering kali dihadapkan pada berbagai dinamika yang berkaitan dengan masalah duniawi. Salah satu isu yang tidak dapat dihindari adalah perbedaan pandangan politik di antara anggota jemaat. Dalam konteks ini, para pendeta sering kali dihadapkan pada keputusan apakah harus terlibat atau tidak dalam “politik praktis”. Sering kali, pendeta merasa dilema, apakah sebaiknya mengambil sikap aktif dalam politik atau tetap menjaga jarak, tetap netral, dan fokus pada tugas rohaninya. Di sinilah pentingnya pemahaman akan sikap netralitas, yang bukan hanya menghindari perpecahan, tetapi juga membawa banyak manfaat bagi jemaat dan pelayanan gereja secara keseluruhan.
Suatu hari, dalam pertemuan rutin dengan para pendeta di gereja, seorang pendeta yang baru saja menyelesaikan studinya di luar negeri, Pendeta Jonathan, mulai berbicara tentang pengalamannya. “Kita sering terjebak dalam situasi yang menuntut kita untuk memilih sisi dalam politik,” katanya, mengawali diskusi. “Namun, saya mulai melihat bahwa ada kekuatan besar dalam netralitas. Ini bukan berarti kita menghindari tanggung jawab sosial kita, tetapi lebih kepada memilih untuk tidak berpihak dalam hal-hal yang bisa membagi kita sebagai umat Allah.”
Pendeta Maria, yang lebih senior, mengangguk pelan. “Betul, Jonathan. Salah satu manfaat utama dari sikap netral adalah membantu menjaga persatuan dalam jemaat. Dalam dunia yang penuh dengan polarisasi politik ini, kita sering kali lupa bahwa kita adalah satu tubuh di dalam Kristus. Ketika kita membiarkan perbedaan pandangan politik merusak hubungan kita, kita mulai melihat perpecahan yang seharusnya tidak ada di dalam tubuh gereja. Kita harus lebih bijak dalam memilih apakah kita akan memperbesar perbedaan tersebut atau memperkecilnya dengan tetap memfokuskan diri pada pelayanan rohani,” ujarnya dengan bijaksana.
Pendeta Jonathan termenung, merenunginya. “Tapi, bagaimana kita bisa menjaga keseimbangan itu, Maria? Apakah tidak seharusnya kita turut serta dalam menentukan arah politik, apalagi kita sebagai pemimpin gereja seharusnya memberi contoh?”
Pendeta Maria tersenyum lembut. “Jonathan, kita tidak bisa memaksakan pandangan kita kepada jemaat. Sebagai pendeta, tugas kita bukan untuk mengarahkan jemaat ke politik tertentu, tetapi untuk membimbing mereka dalam pertumbuhan iman dan hubungan dengan Tuhan. Jika kita terjebak dalam politik praktis, kita bisa kehilangan fokus pada pelayanan rohani yang seharusnya menjadi prioritas kita. Cobalah berpikir tentang hal ini: Jika kita terlalu terlibat dalam perdebatan politik, apakah kita akan dapat memberikan perhatian yang cukup bagi kebutuhan rohani jemaat kita?”
Pendeta Jonathan mulai mengerti. “Jadi, netralitas ini tidak hanya membantu menjaga persatuan jemaat, tapi juga memungkinkan kita untuk lebih fokus pada tugas utama kita sebagai pendeta, yaitu membimbing jemaat dalam iman?”
“Benar,” jawab Pendeta Maria. “Dengan tidak terlibat dalam politik praktis, kita bisa lebih fokus pada pelayanan rohani. Kita dapat memberi teladan dalam kehidupan Kristen yang mengutamakan Kerajaan Allah di atas segala sesuatu. Itu adalah pesan yang lebih kuat daripada sekadar memilih pihak dalam perdebatan duniawi.”
Pernyataan ini mengingatkan mereka semua akan suatu hal yang penting dalam kehidupan berjemaat: kepercayaan. Di tengah ketegangan politik yang sering kali mengganggu kehidupan sosial, kepercayaan jemaat kepada pendetanya sangat berharga. Seorang jemaat, Ani, yang hadir dalam pertemuan itu, bertanya dengan hati-hati, “Pendeta Maria, bagaimana kita bisa memastikan bahwa jemaat tetap mempercayai kita jika kita tidak terbuka mengenai pandangan politik kita?”
Pendeta Maria menjawab dengan penuh keyakinan, “Sikap netral itu justru memperkuat kepercayaan jemaat kepada kita. Mereka akan melihat bahwa kita memprioritaskan kepentingan rohani mereka, bukan kepentingan politik tertentu. Jika kita berpihak pada satu kelompok politik, kita mungkin akan kehilangan sebagian jemaat yang tidak sepaham dengan kita. Tetapi, jika kita tetap netral, jemaat akan melihat kita sebagai seseorang yang fokus pada tugas kita untuk membimbing mereka dalam kehidupan iman, bukan untuk memenangkan pihak tertentu.”
Percakapan itu membuat Pendeta Jonathan semakin yakin akan pentingnya menjaga sikap netral. “Saya mulai memahami bahwa netralitas juga menghindarkan kita dari kontroversi yang bisa merusak reputasi gereja dan pribadi kita. Setiap keputusan yang kita buat sebagai pendeta harus mencerminkan integritas dan pelayanan yang damai. Kita perlu menjadi contoh yang baik dalam hal ini.”
“Ya,” jawab Pendeta Maria. “Kita harus menjaga agar gereja tetap berjalan dengan damai, tanpa ada konflik yang tidak perlu. Jika kita terlalu terlibat dalam politik praktis, kita bisa menjadi sumber perpecahan yang merusak kesatuan tubuh Kristus. Dan, lebih dari itu, kita juga harus memberi teladan bagi jemaat tentang bagaimana seharusnya kehidupan Kristen seharusnya terlihat di dunia ini. Tidak ada yang lebih penting daripada menunjukkan bagaimana kita mengutamakan Tuhan di atas segala sesuatu.”
Salah satu pendeta muda, Pendeta Samuel, kemudian menambahkan, “Bukankah netralitas ini juga membantu kita menjadi penengah yang adil? Ketika ada perbedaan pendapat di antara jemaat, kita bisa membantu mereka menyelesaikan masalah dengan lebih bijaksana tanpa terjebak dalam keberpihakan. Jika kita berpihak pada satu kelompok, kita akan sulit untuk menjadi penengah yang adil.”
Pendeta Maria mengangguk setuju. “Betul sekali, Samuel. Pendeta yang netral dapat menjadi jembatan yang menghubungkan berbagai pandangan yang berbeda dalam jemaat. Kita harus memperhatikan setiap sisi dan membantu jemaat menemukan solusi tanpa mengedepankan kepentingan pribadi atau politik.”
Sebagai penutup, Pendeta Maria mengutip sebuah ayat yang sangat relevan dengan pembicaraan mereka. “Ingatlah, saudara-saudara,” katanya, “bahwa sebagai pelayan Tuhan, kita harus selalu mengutamakan Kerajaan Allah di atas segala sesuatu. Seperti yang tertulis dalam Amsal 16:16, ‘Hikmat itu lebih berharga dari permata, dan segala sesuatu yang diinginkan tidak dapat disamakan dengan dia.’ Kita dipanggil untuk mencari hikmat Tuhan dalam setiap langkah kita, terutama dalam memilih bagaimana kita bersikap di hadapan dunia ini. Sikap netral bukan berarti kita tidak peduli, tetapi kita mengutamakan Kerajaan Allah di atas segala sesuatu.”